Banda Aceh – Badan Legislasi (Banleg) dan Komisi IV DPRK Banda Aceh melakukan kunjungan kerja ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh untuk berkonsultasi terkait Rancangan Qanun tentang Cagar Budaya yang saat ini sedang digodok oleh dewan, Jumat (29/01/2021).
Kunjungan tersebut dipimpin langsung oleh Ketua Banleg, Heri Julius, dan dihadiri anggota Banleg, Ramza Harli, serta Ketua Komisi IV, Tati Meutia Asmara, dan anggota Komisi IV Kasumi Sulaiman. Kedatangan rombongan DPRK disambut langsung oleh Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Cut Nurmarita, di ruang rapat lantai dua Kantor Disbudpar Aceh.
Anggota Banleg, Ramza Harli usai rapat itu menyatakan, melalui kunjungan itu pihaknya menggali informasi terkait penyempurnaan Raqan Cagar Budaya yang sedang dibahas di DPRK Banda Aceh. Ramza menjelaskan, beberapa kesimpulan dari hasil rapat tersebut di antaranya menyangkut kewenagan pengelolaan situs-situs cagar budaya oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dan Pemerintah Aceh.
Ramza melanjutkan, saat ini Banleg DPRK terus menggali informasi terkait situs-situs sejarah yang ada di Kota Banda Aceh baik data yang didapat dari dinas maupun data lainnya sampai tersimpulkan suatu kepastian, situs-situs mana saja yang harus dikelola oleh pemerintah kota dan pemerintah provinsi.
“Jika sudah ada kejelasan, di situlah letak kami di DPRK selaku fungsi pengawasan sekaligus panggilan moril bagi kami dari DPRK untuk menyelamatkan situs-situs cagar budaya di Banda Aceh yang termasuk dalam kota pusaka,” kata Ramza.
Ramza juga mengungkapkan, persoalan di Kota Banda Aceh yang dihadapi pihaknya saat ini ialah banyak kalangan masyarakat, terutama LSM mempertanyakan keberadaan makam Sultan Jamalullail di Jalan Mohammad Jam yang dinilai terbengkalan. Persoalan lainnya yaitu keberadaan instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) di Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, yang telah terindentifikasi sebagai lokasi bekas peninggalan Kerajaan Sultan Aceh Darussalam.
“Untuk melengkapi data itu kita mengunjungi Disbudpar Aceh untuk mendapatkan informasi yang akurat sebagai bahan validasi kami demi kesempurmaan qanun tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Disbudpar Aceh, Cut Nurmarita, menyampaikan, pihaknya mengapresiasi kunjungan yang dilakukan oleh DPRK untuk melakukan konsultasi terkait kewenangan pengelolaan cagar budaya di Kota Banda Aceh. Rapat tersebut menurut Nurmarita juga menjadi suatu masukan bagi semua pihak untuk menyelamatkan situs cagar budaya di Aceh khususnya di Kota Banda Aceh.
“Kami mengapresiasi apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh untuk melakukan konsultasi terkait cagar budaya,” katanya.
Nurmarita menambahkan, saat ini Disbudpar Aceh juga memiliki tiga rancangan qanun yang sedang dipersiapkan dan baru satu masuk program legislasi (prolega) yaitu Raqan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Aceh (RIPPA). Sementara qanun cagar budaya baru hanya ada naskah akademik dan masih menunggu waktu.
“Mudah-mudahan kami bisa secepatnya mengikuti jejak Kota Banda Aceh sehingga provinsi juga akan punya qanun cagar budaya. Ini sesuatu yang sangat penting dilakukan untuk melindungi cagar budaya yang kita miliki sebagai warisan budaya bangsa,” tuturnya. (Parlementaria)