Oleh: Dr. Muhammad Syarif, S.Pd.I., M.A. ,Dosen FAI Universitas Serambi Mekkah & Pemerhati Sosial
Kita sering mencari kebenaran dan makna hidup di tempat yang tinggi atau jauh. Kita menapaki gunung, menziarahi masa lalu, atau mengejar simbol-simbol spiritualitas. Namun, terkadang hakikat kehidupan justru bersembunyi di tempat yang paling jujur di mana air mata menjadi mata air, dan harapan tumbuh dari luka. Tempat itu bernama Rumoeh Seujahtera Aneuk Nanggroe (RSAN).
Saat berkunjung ke UPTD RSAN, saya menemukan kehangatan yang paradoksal lembut namun penuh luka, sederhana namun sarat makna. Kepala UPTD, Bapak Michael Octaviano, mengucapkan kalimat yang menggetarkan kesadaran:
“Jika ingin melihat miniatur Aceh, berkunjunglah ke RSAN.”
Kalimat itu bukan sekadar sambutan, tetapi seruan nurani. RSAN memang bukan miniatur yang terbuat dari batu atau sejarah, melainkan dari fragmen jiwa potongan-potongan kehidupan yang berpadu menjadi mozaik sosial Aceh.
Di RSAN, kita bisa membaca peta sosial Aceh yang paling jujur. Di balik setiap senyum anak-anak, tersimpan babak kisah yang kadang kita abaikan. Ada bayi berusia nol bulan yang ditinggalkan tanpa pelukan, ada remaja yang kehilangan arah karena retaknya keluarga.
Mereka bukan sekadar yatim-piatu dalam arti biologis, tetapi juga anak-anak yang kehilangan hak atas kasih sayang dan rasa aman. Mereka adalah saksi hidup dari ketimpangan sosial di tengah kemakmuran yang dijanjikan, masih ada jiwa-jiwa kecil yang harus memulai hidup dari titik nol.
Dinas Sosial Aceh, melalui UPTD RSAN, menjadi tembok terakhir bagi anak-anak ini. Namun, tembok itu tidak dingin. Mereka berusaha menghadirkan suasana pengasuhan yang hangat, berbasis keluarga, dan penuh empati.
RSAN bukan sekadar panti asuhan, melainkan laboratorium sosial yang mematangkan jiwa. Di sini, luka tidak dibiarkan membusuk ia ditempa menjadi semangat. Melalui program “Gerakan Pengusaha Anak Panti”, anak-anak dibekali keterampilan hidup yang nyata: memasak, membuat kue, bercocok tanam, hingga menjadi barber profesional.
Filosofi mereka sederhana namun kuat: martabat tidak diwariskan, melainkan diperjuangkan.
“Kami ingin anak-anak ini mandiri dan mampu menghidupi dirinya sendiri,” ujar Michael Octaviano.
Kemandirian yang dimaksud bukan hanya ekonomi, tetapi juga kemandirian jiwa agar mereka tumbuh sebagai manusia yang utuh, bukan sekadar bertahan hidup, tapi hidup dengan makna.
“Kalau ada orang di luar sana yang merasa hidupnya berat, banyak mengeluh, atau kurang bersyukur datanglah ke sini. Jadikan RSAN sebagai wisata batin. Setelah melihat perjuangan anak-anak ini, kita akan paham arti syukur yang sesungguhnya.”
Kata-kata ini seperti cermin yang tak bisa kita elakkan. Di luar sana, banyak dari kita yang mengeluh karena kekurangan materi, sementara anak-anak di RSAN berjuang karena kekurangan kasih sayang dan kesempatan.
RSAN menjadi miniatur Aceh sejati: memperlihatkan wajah kemanusiaan yang kadang tertutup oleh statistik dan seremoni. Di sini kita belajar, bahwa kebahagiaan tak datang dari kelimpahan, tapi dari keberanian untuk bertahan dan berbagi.
Kisah anak-anak RSAN adalah pengingat, bahwa di balik pembangunan dan kemajuan, selalu ada sisi kemanusiaan yang menuntut perhatian. Mari kita dukung RSAN bukan sekadar dengan empati, tetapi juga dengan aksi. Jadikan kisah mereka sebagai mata air semangat yang menumbuhkan kembali rasa syukur dan solidaritas di hati kita semua.
Karena dari air mata mereka, Aceh belajar menjadi manusia seutuhnya.(*)












