Aceh Besar – Pengurus Daerah Gerakan Pemuda Islam (PD-GPI) Kabupaten Aceh Besar menyayangkan tiga (3) nama yang dinyatakan lulus sebagai anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Besar periode 2023-2028.
Pasalnya tiga nama tersebut pernah dihukum oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP-RI) saat menjabat komisioner KIP Aceh Besar pada periode sebelumnya, karena kelalaian dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif tahun 2019. Akibat kelalaian itu rekapitulasi suara aceh besar 2019 paling lama se-Indonesia terpaksa diambil alih oleh KIP Aceh.
“Pertanyaan sederhana kenapa tiga nama ini kembali dinyatakan lulus sebagai komisioner KIP oleh pansel? Kepongahan selanjutnya adalah, bagaimana DPRK Aceh Besar menerima usulan tiga nama itu bahkan menyetujuinya? Ini terlihat sangat kontras”, ungkap Rezal Irwandi, SH Wakil Ketua Umum GPI Aceh Besar, Senin (09/07/2023).
Menurutnya, hasil seleksi ini jelas mencederai etika demokrasi, dan melawan pranata demokrasi. Bagaimana mungkin komisoner KIP yang pernah dihukum karena kelalaian terhadap tugas dan tanggungjawab pada satu periode, kemudian kembali dinyatakan lulus sebagai komisioner KIP pada periode keduanya? lanjut Rezal.
“Kinerja pansel patut dipertanyakan, lebih lagi hasil seleksi itu telah diteruskan ke DPRK Aceh Besar dan menurut beberapa sumber kami baca telah mendapat pesetujuan hingga disahkan. Ini seperti alur novel judulnya Balada Cinta Pansel, KIP dan Kepongahan DPRK Aceh Besar”, katanya.
Selain itu ia menyebutkan pranata demokrasi itu ada tiga, keabsahan pemerintah, kedaulatan rakyat dan pergantian kekuasaan. Apa jaminan pemilu serentak tahun 2024 akan menghasilkan pemerintahan aceh besar yang absah jika dari awal proses perekrutan penyelenggara pemilu atau KIP kacau seperti ini.
“Belum lagi kita berbicara tentang kedaulatan rakyat yang semakin hari semakin jauh, secara etika dan secara pranata demokrasi hasil seleksi KIP patut dipertanyakan, kita berharap KPU-RI dan DKPP-RI merespon dapat mengidentifikasi masalah pelanggaran etik ini, sambungnya.
Jangan sampai, kata Rezal, publik tidak menaruh kepercayaan kepada penyelenggara pemilu seperti tahun 2019, memilih golput (tidak nyoblos) karena dari awal sudah terindikasi setingan belaka. Pemangku kepentingan mendorong kedewasaan masyarakat dalam pemilu 2024 tapi pada saat bersamaan pemangku kepentingan justru menodai tahapan pemilu itu sendiri.
Dimana letak independensi Pansel KIP, dan dimeja yang mana DPRK Aceh Besar menyembunyikan fungsi pengawasannya yang melekat itu? Sehinga tiga nama komisoner KIP yang pernah menerima sanksi dari DKPP justru dinyatakan lulus bahkan disahkan kembali sebagai KIP Aceh Besar periode 2023-2028.
“Sudah dipercayai rakyat malah ingin mencederai rakyat, ini tuduhan serius karena demokrasi kita harus menuduh”, pungkas Rezal Irwandi Wakil Ketua Umum PD-GPI Aceh Besar.(*)