Beranda Headline IKADIN Aceh dorong Menteri Pertahanan bentuk tim penyidik koneksitas dalam kasus tewasnya...

IKADIN Aceh dorong Menteri Pertahanan bentuk tim penyidik koneksitas dalam kasus tewasnya warga Aceh oleh Oknum TNI

Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Provinsi Aceh, Safaruddin. Foto: Humas/Ikadin Aceh.

Banda Aceh – Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Provinsi Aceh, Safaruddin, mendorong Menteri Pertahanan agar membentuk tim penyidik koneksitas dalam perkara dugaan penganiaan berat yang menyebabkan kematian terhadap Imam Masykur oleh Oknum TNI RM yang bertugas sebagai Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) agar dapat diadili dalam peradilan koneksitas, ini untuk membuka akses publik dalam memantau proses hukum tersebut, kasus ini telah menimbulkan kemarahan publik dan ingin proses hukum terhadap oknum tersebut dapat dibuka secara terang kapada publik, apalagi dalam video penyiksaan tersebut pelaku lebih dari satu orang, dan kesemuanya harus dibuka siapa saja yang terlibat dalam penganiaan tersebut.

“Kami mendorong agar Menteri Pertahanan untuk membentuk tim penyidik koneksitas dalam perkara penganiayaan warga Aceh yang berakhir dengan hilangnya nyawa korban Imam Masykur, pembentukan tim ini agar nantinya kasus ini dapat disidangkan dalam peradilan koneksitas, karena kasus penganiaan berat yang menyebabkan meninggalnya warga Aceh, Imam Masykur, oleh oknum anggota TNI RM yang bertugas disatuan Paspampres. Kasus ini telah menimbulkan kemarahan publik, khususnya masyarakat Aceh, publik menginginkan proses hukum terhadap kasus tersebut dibuka kepada publik dengan pemeriksaan koneksitas, karena dalam video yang beredar saat penyiksaan, Oknum RM tidak sendiri tapi ada beberapa orang lain lagi saat itu, dan ini harus dibuka siapa saya yang terlibat”, Kata Safar.

Untuk Peradilan koneksitas diatur dalam Pasal 89-94 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal tersebut memuat sejumlah ketentuan mengenai peradilan koneksitas. Dalam Pasal 89 KUHAP dijelaskan peradilan koneksitas untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh pelaku yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer. Penyidikan perkara tersebut dilakukan oleh tim yang terdiri dari penyidik polisi militer, pejabat polisi atau PNS yang berwenang. Tim ini dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman.

“Dalam pasal 89-94 KUHAP mengatur tentang peradilan koneksitas yang penyidiknya di bentuk dengan Keputusan Menteri Pertahanan dan Kehakiman, karena menteri Kahakiman sudah tidak ada lagi, maka kita dorong kewenangan tersebut kepada Menteri Pertahanan untuk membentuk tim penyidik koneksitas terhadap perkara tersebut”, pinta Safar.

Tentang peradilan ketentuan soal militer tunduk pada peradilan pidana umum dijelaskan dalam Pasal 65 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Adapun Pasal 65 ayat 2 UU TNI berbunyi, “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu Safar mendorong komitmen Panglima TNI untuk patuh pada konstitusi dan sistem ketatanegaraan yang berjalan saat ini dimana UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan menyebutkan bahwa kejaksaan agung adalah satu dan tidak terpisahkan, dan Kejaksaan Agung juga telah membentuk lembaga Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer dimana salah satu kewenangannya adalah menangani perkara koneksitas.

“Selain dalam KUHAP, UU No 34 tahun 2004 tentang TNI juga mengatur tentang peradilan koneksitas dimana dalam pasal 65 disebutkan “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”. Kasus meninggalnya Imam Masykur ini menjadi ujian komitmen bagi TNI untuk menjalankan perintah Undang-Undang tentang peradilan Koneksitas walaupun saat ini masih tunduk pada ketentuan UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menurut saya sudah harus segera di ganti dengan mengatur ketentuan yang sejalan dengan UUD 45 dan sistem ketetanegaraan saat ini dimana semangat prinsip single prosecution system tercermin dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa “Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan” (een en ondeelbaar). Artinya, penuntutan harus ada di satu lembaga, yakni Kejaksaan agar terpeliharanya kesatuan kebijakan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerjanya, dan Kejaksaan juga telah membentuk Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer yang salah satunya kewenanganya adalah menangani perkara koneksitas.” tutup Safar. (*)